Pertarungan Batin

deeadewie.wordpress.com


Beberapa hari ini aku gelisah. Bukan karena pekerjaanku yang setumpuk. Atau laporan yang sudah abis masa tenggatnya. Bukan, bukan itu. Tetapi karena sakit anakku yang tidak sembuh-sembuh. Sudah dua minggu lebih lebih panasnya nggak turun-turun. Merasa lemas dan gampang lelah. Sering muntah dan kejang-kejang. Leher dan ketiaknya membengkak.

Kami sudah membawanya ke dokter. Kata dokter hanya demam biasa. Dia hanya meresepkan beberapa jenis obat. Dua hari lagi kami disuruhnya kembali jika panasnya tidak segera turun. Saran itupun kami patuhi. Kami pun membawanya kembali padanya. Katanya, anakku harus dicek darahnya di laboratorium. Akhirnya, vonis itupun keluar. Anakku mengidap leukemia akut.

Kami pun pasrah. Dokter menyarankan untuk kemoterapi. Jika hal itu dilakukan anak kami bisa sembuh, katanya. Tetapi biayanya sangat mahal. Kami pun lunglai. Tidak ada yang bisa kami lakukan untuk putri kami satu-satunya itu.

Sebulan pun berlalu ….

Sehabis makan malam, aku duduk-duduk di beranda samping. Hanya sendiri. Menyaksikan bintang gumintang yang bergantungan di langit gelap. Cahayanya berkelip-kelip, seakan-akan bergantian mengejekku. Meledekku yang tak mampu membiayai pengobatan penyakit yang diderita putriku.

Pikiranku sedang bimbang malam itu. Memikirkan tawaran salah seorang pejabat yang sedang kuperiksa dalam sebuah kasus yang merugikan keuangan negara. Pejabat itu menawarkan bantuannya untuk pengobatan anakku satu-satunya. Bukan jumlah yang sedikit. Saat itu, aku belum memberi jawaban yang pasti.

Untuk sejenak terjadi pertempuran dalam batinku. Antara menerima atau menolak tawarannya.

Sudahlah, pak, katanya. Bapak tidak perlu khawatir. Bantuan saya tidak ada kaitannya dengan temuan bapak yang harus saya tindaklanjuti, katanya pelan meyakinkan saya. Bapak tulis saja apa adanya. Saya akan terima itu. Bagi saya, yang penting putri Bapak bisa disembuhkan.

Apakah aku sanggup menuliskan semua temuan itu? Sementara aku tetap menerima tawarannya? Rasanya tidak akan sanggup itu kulakukan. Pejabat itu pasti akan menilaiku sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih.

Pikiran jahat pun muncul.

Temuankan bisa diatur? Semua tergantung kamu. Kamu kan bisa agak meringankan kesalahan yang diperbuat pejabat itu. Atau…kalau memungkinkan, jangan kamu seret-seret dia. Kesalahan bisa saja kamu timpakan kepada bawahannya. Mudah sekali bukan? Nah, sekarang jalan sudah terbuka untuk menolong anakmu. Tunggu apalagi. Ambil kesempatan itu!

Namun, nurani pun berbisik dari relung hati yang paling dalam.

Jangan kamu terima! Pejabat itu hanya memperdayaimu. Jika itu kamu lakukan, kamu telah mengkhianati amanah yang telah diberikan kepadamu. Sabarlah, pasti ada jalan keluar untuk biaya pengobatan anakmu. Bersabarlah….pasti ada jalan keluar.

Ambil, nggak ya? Hatiku galau bercampur bingung, nggak karuan. Akal sehat sepertinya sudah meninggalkanku.

Ambil…jangan….ambil….jangan.

Ahh….ambil saja, deh!!!

Toh, nggak ada yang tahu. Atasanku juga tidak akan tahu. Pejabat itu juga kelihatannya ikhlas juga kok?!! Yang penting putriku bisa sembuh. Pergulatan antara pikiran jahat dan hati nurani terus terjadi. Aku berada dalam kebimbangan yang membuncah.

Tiba-tiba tangan yang mungil dan lembut menepuk pundakku.

Jangan ayah lakukan itu demi kesembuhan anak kita. Kita cari jalan yang lain saja ya? Aku yakin Alloh akan menunjukkan jalan buat hambanya yang bertakwa. Jalan keluar yang kita berdua tidak akan menduga akan muncul dari arah mana.  Ya, yah?

Darimana kamu tahu pikiranku? Jelas aku keheranan dengan tanggapan istriku.

Dengan lembut dia duduk di sampingku sambil memeluk separuh badanku.

Beberapa hari ini, aku mengamatimu. Kamu terlihat sangat memikirkan penyakit anak kita. Kamu tampak gundah, sayang. Aku memahami pergulatan di dalam batinmu. Kamu harus menolak tawaran itu, sayang. Bukankah itu tidak boleh?

Aku trenyuh dengan kepekaan istriku. Kupeluk dia. Kuciumi pipinya.

Kamu memang istriku. Untunglah kamu mengingatkanku. Maafkan aku,  keimananku  hampir goyah. Alloh mungkin sedang menguji kita. Terima kasih sayang. Baiklah, kita pikirkan cara lain untuk mencari biaya pengobatan anak kita.

Dia menatap wajahku. Mencari-cari kegalauan dalam mataku.

Sayang, kita akan hadapi bersama-sama. Insya Alloh, Tuhan akan memberikan jalan asal kita berusaha dan bertawakal kepadaNya. Bukankah seharusnya demikian? Pancaran mata istriku begitu lembut. Mampu meyakinkan diriku.

Sungguh luar biasa perasaanku malam itu. Kegalauan hatiku malam itu serasa tersirami oleh sejuknya air terjun Bantimurung. Sungguh menenteramkan dan menguatkan perasaanku. Terima kasih Tuhan, telah Engkau pilihkan dirinya buatku.

Aku pun mengangguk. Kemudian, kami pun saling berpelukan.

Sengkang, 8 November 2012